USNINFO-Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas November Kolaka, Dwika Putra Tzalsa Ramadhan, menyuarakan secara terbuka penolakan terhadap proses Pemilihan Umum Raya Mahasiswa (Pemira) untuk Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Universitas. Melalui tulisan ini, Putra menyampaikan bahwa pelaksanaan Pemira yang digelar pada tahun ini dinilai cacat secara hukum, mencederai prinsip demokrasi, serta melanggar regulasi yang berlaku di lingkungan USN Kolaka.

Sebagai Ketua DPM Fakultas, Putra menilai bahwa pemilihan MPM seharusnya menjadi ajang demokrasi kampus yang mencerminkan keterlibatan seluruh mahasiswa secara aktif dan setara. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Penyelenggaraan Pemira MPM yang berlangsung dilakukan oleh pihak birokrasi kampus, bukan oleh Komisi Pemilihan Umum Raya Mahasiswa (KPURM), sebagaimana telah ditentukan dalam Peraturan Rektor Nomor 04 Tahun 2024 tentang Organisasi Kemahasiswaan. Dalam pasal 52 ayat (1) disebutkan secara eksplisit bahwa penyelenggaraan pemilihan umum raya mahasiswa adalah wewenang KPURM. Artinya, keterlibatan birokrasi dalam menyelenggarakan langsung proses pemilihan adalah bentuk pelanggaran terhadap aturan internal universitas dan merusak independensi lembaga kemahasiswaan.

Tidak hanya dari sisi penyelenggara, keabsahan Pemira ini juga diragukan dari sisi mekanisme partisipasi mahasiswa. Dalam Pasal 14 Peraturan Rektor yang sama, disebutkan bahwa keanggotaan MPM Universitas harus dipilih oleh seluruh mahasiswa di tingkat fakultas dan program pendidikan vokasi masing-masing. 

Namun dalam praktiknya, pemilihan dilakukan tanpa pelibatan penuh mahasiswa dari tiap fakultas. Tidak ada sosialisasi yang memadai, tidak ada publikasi daftar pemilih tetap (DPT), tidak jelas siapa calon yang bersaing dan bagaimana proses kampanye serta pemungutan suara berlangsung. Proses ini berlangsung nyaris tertutup, jauh dari asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang menjadi prinsip dasar pemilu mahasiswa.

Sebagai Ketua DPM, Putra menegaskan bahwa tindakan birokrasi ini bukan sekadar kekeliruan administratif, melainkan bentuk pengingkaran terhadap kedaulatan mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengatur dan menjalankan organisasi kemahasiswaannya secara independen, bukan dijadikan pelengkap legalitas oleh birokrasi. Ketika birokrasi ikut campur dalam proses pemilihan legislatif mahasiswa, maka yang terjadi bukanlah Pemira, melainkan pemaksaan kehendak yang disamarkan dengan seremonial demokratis.

Lebih lanjut, Dwika menegaskan bahwa sikap penolakannya ini bukan dipicu oleh kepentingan politik, melainkan murni untuk menjaga marwah demokrasi kampus. Bahkan, ia menyatakan dengan tegas bahwa “sekalipun yang terpilih tersebut berasal dari Fakultas Hukum,” tempat ia sendiri menjabat sebagai Ketua DPM, hal itu tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan pelanggaran prosedur. Bagi Putra, hukum dan keadilan harus berdiri di atas kepentingan kelompok atau asal institusi mana pun. Ia menyampaikan bahwa integritas organisasi tidak boleh dikorbankan hanya demi kenyamanan semu atau solidaritas lokal.

Lebih jauh, Putra mengingatkan bahwa keberadaan BEM Universitas sebagai lembaga eksekutif tidak akan memiliki legitimasi yang utuh jika tidak diimbangi dengan lembaga legislatif yang sah dan dipilih secara demokratis. Saat ini, BEM Universitas berjalan tanpa adanya MPM yang dibentuk melalui mekanisme yang sah. Ini adalah ketimpangan yang sangat fatal. Dalam sistem organisasi kemahasiswaan, MPM bukan sekadar pelengkap, tapi lembaga legislatif yang memiliki fungsi kontrol terhadap BEM. Tanpa MPM yang sah, maka tidak ada yang mengawasi, tidak ada yang menilai pertanggungjawaban dan tidak ada yang dapat menyalurkan aspirasi mahasiswa secara struktural di tingkat universitas. Hal ini secara prinsip sangat bertentangan dengan semangat check and balance yang menjadi dasar terbentuknya struktur organisasi mahasiswa yang sehat.

Putra juga menyayangkan sikap diam sebagian pihak terhadap proses ini. Menurutnya, diam dalam kondisi seperti ini sama saja dengan membiarkan demokrasi kampus mati pelan-pelan. Ia mengajak mahasiswa dari seluruh fakultas untuk sadar, bahwa apa yang dipertaruhkan di sini bukan hanya siapa yang duduk di kursi MPM, tapi tentang hak setiap mahasiswa untuk didengar dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan berorganisasi mereka.

Sebagai Ketua DPM FH, Putra menegaskan bahwa kritik ini bukan ditujukan untuk menciptakan kegaduhan, tapi sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional terhadap marwah organisasi mahasiswa di USN Kolaka. Suara ini hadir sebagai refleksi dari keresahan kolektif banyak mahasiswa yang tidak mendapatkan ruang partisipasi yang layak dalam proses demokrasi kampus. Sudah sepatutnya birokrasi kampus menjadi fasilitator yang menjamin tegaknya regulasi, bukan justru menjadi aktor yang melanggarnya.

Sebagai bentuk konkret dari penolakan ini, tuntutan resmi yang disampaikan Putra adalah:

1. Menyatakan Pemira MPM Universitas yang diselenggarakan oleh birokrasi tidak sah dan cacat prosedural, serta tidak memiliki legitimasi di mata mahasiswa.

2. Menuntut agar proses pemilihan MPM diulang secara menyeluruh dan dilaksanakan sesuai peraturan, dengan penyelenggara yang sah yaitu KPURM, bukan pihak birokrasi.

3. Meminta kepada pihak universitas untuk membekukan sementara aktivitas kelembagaan BEM Universitas hingga MPM yang sah secara prosedural terbentuk sebagai lembaga pengawas yang sejajar.

4. Mendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap pihak-pihak birokrasi yang terbukti menyalahgunakan kewenangan dan mengambil alih peran lembaga mahasiswa dalam penyelenggaraan Pemira.

Dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, Dwika Putra Tzalsa Ramadhan mengajak seluruh elemen mahasiswa untuk tidak diam. Demokrasi kampus bukan milik segelintir elit birokrasi atau organisasi, melainkan milik semua mahasiswa. Jika hari ini kita membiarkan hak kita dirampas dalam sunyi, maka besok kita akan menuai organisasi yang kering dari legitimasi, dan penuh dengan kekuasaan tanpa pengawasan. Saatnya mahasiswa bersuara, saatnya mahasiswa mengambil kembali peran dalam menentukan arah kampusnya sendiri.

Post a Comment

Previous Post Next Post